Berikut salah satu petikan
wawancara Kru Jurnal OASE ICMI Orsat Kairo bersama salah satu ulama Mesir,
Ketua Dewan Fatwa Darul Ifta Republik Arab Mesir, yang telah di terbitkan dalam
Jurnal OASE – Cairo edisi XVII, 2008.
Dalam masalah penentuan awal
bulan Hijriyah yang selalu menuai konflik dan perpecahan umat Islam, khususnya
pada bulan-bulan besar. Kru Oase Pada tanggal 26 Maret 2008 dan tanggal 3 April
2008 telah bersilaturahim ke Lembaga Fatwa Mesir Darul Ifta dan berhasil
menemuai Ketua Umum Dewan Fatwa Prof. Dr. Syaikh Muhammad Syalaby bagian yang
menangani secara khusus tentang penentuan awal bulan hijriyah. Berikut hasil
petikan wawancara Kru Oase dengan beliau;
Oase : Bagaimana mekanisme yang
dipakai di Mesir khususnya?
DI : Metode utama yang digunakan
di Mesir adalah metode Rukyat, jika tidak terlihat hilal barulah memakai metode
hisab.
Oase : Bagaimana detail
pelaksanaan rukyat di Mesir? Apakah setiap orang boleh bersaksi?
DI : Tidak boleh setiap orang
melakukan persaksian, tapi mekanisme rukyat yang berlaku di Mesir, dilakukan
oleh sebuah panitia khusus yang terdiri dari 6 unsur, dan setiap unsur terdiri
dari beberapa orang. Ada unsur dari keamanan Nasional, unsur pemerintah lokal,
unsur ahli iptek, unsur ulama dll. Jika satu unsur saja telah melihat hilal
maka dianggap sah karena sudah terdiri dari beberapa orang. Jika semua unsur
tersebut tidak melihatnya maka dianggap tidak terlihat. Jika demikian barulah
beralih kepada metode hisab, apa yang dikatakan oleh hisab itulah yang menjadi
patokan.
Oase : Secara administratif
bagaimana mekanisme penentuan awal bulan hijriyah di Mesir, siapa yang berhak
mengumumkan keputusan? Siapa yang menentukan panitia rukyat (pengamatan) dan lain-lain?
DI : Mekanisme penentuan awal
bulan Hijriyah di Mesir, khususnya bulan Ramadhan dan Syawal adalah memakai
metode rukyat hilal. Rukyat tersebut dilakukan oleh sebuah panitia khusus.
panitia ini dibentuk oleh Darul Ifta (Lembaga fatwa) sendiri, dan sistem ini
sudah lama di pakai oleh negara mesir. Panitia khusus yang terdiri atas 6 unsur
tersebut disebar ke seluruh penjuru Mesir. Sedangkan mekanismenya adalah sangat
sederhana, jika telah terlihat Hilal, maka itu yang dijadikan patokan. Jika
tidak, maka merujuk pada hisab falaki. Inilah yang menjadi kesepakatan bersama
sebagaimana yang tertuang dalam Muktamar Jedah pada tahun 90 an.
Oase : Jika Hisab telah
mengatakan adanya hilal misalnya, mengapa harus dilakukan rukyat? Mengapa tidak
langsung berpedoman pada hisab saja?
DI : Karena metode sebenarnya
yang dapat dijadikan patokan adalah Rukyat, bukannya hisab. Jika rukyat tidak
berhasil, barulah beralih ke hisab. Oleh sebab itu kita katakan bahwa hisab
adalah Yu`khodz fi an Nafyi La fi al Isbat (hisab hanya boleh dipakai jika
tidak terlihat hilal). Jika hisab mengatakan misalnya, bahwa awal bulan baru
adalah besok pagi, sedangkan rukyat belum dilakukan maka kita tidak menerima
hisab tersebut. Harus melalui rukyat terlebih dahulu.
Oase : Imam Subki pernah melontarkan
pendapat, bahwa jika seseorang telah mengaku melihat hilal, tapi secara hisab,
hal tersebut belum memungkinkan, maka yang dipakai pedoman adalah hisab dan
rukyat tersebut tidak dianggap. Bagaimana menurut Duktur mengenai hal ini?
DI : Tidak, hal tersebut tidak
boleh, karena apa yang terkandung dalam hadis sudahlah jelas, “puasalah karena
melihat hilal dan berbukalah (hari raya) karena melihatnya”. Walaupun secara
hisab hilal dikatakan tidak mungkin terlihat, tapi secara rukyat, hilal telah
terlihat, baik rukyat tersebut menggunakan mata telanjang ataupun memakai
peralatan lain semisal teleskop dan sebagainya, lalu telah benar-benar diteliti
bahwa yang dilihatnya adalah hilal, bukan benda angkasa lain, semacam bintang
atau mars, telah diteliti juga mengenai keadilan (kapabelitas) yang melihat,
maka yang menjadi patokan adalah rukyat, dan wajib bagi kita untuk menerimanya.
Oase : Jadi harus diteliti dahulu
bahwa yang terlihat adalah benar-benar hilal?
DI : Ya, harus begitu. Ini supaya
tidak terjadi kekeliruan dalam rukyat. Jangan sampai benda angkasa lain,
semacam planet mars atau bintang, dikira hilal. Kekeliruan ini pernah terjadi
dua tahun yang lalu di sebuah negara. Ada saksi yang mengatakan telah melihat
Hilal, lalu berpuasalah negara tersebut pada keesokan harinya, yaitu hari
sabtu. Akan tetapi setelah diteliti secara detail dan berdasarkan pengakuan
saksi sendiri, bahwa ternyata yang dilihatnya bukanlah hilal, tapi benda
angkasa lain. Lalu secara resmi negara tersebut mengumumkan bahwa hari puasa
yang sebenarnya adalah jatuh pada hari berikutnya yaitu hari ahad.
Oase : Bagaimana menurut Duktur
mengenai sebuah pendapat yang mengatakan bahwa maksud dari rukyat dalam hadis
adalah rukyat bil Ilmi atau dapat dikatakan hisab, dan bukan rukyat pengamatan?
DI : Makna asli
(haqiqi/denotatif) dari rukyat adalah melihat dengan mata telanjang. Sedangkan
rukyat bil ilmi adalah makna majazi (kiasan) darinya. Jika disebut rukyat
begitu saja (muthlaq) maka maksudnya adalah makna aslinya dan bukan makna
majazinya (konotatif/kiasan). Dalam bahasa Arab sendiri terdapat kaidah, sebuah
lafal harus dimaknai dengan makna aslinya selama masih dimungkinkan, dan tidak
boleh berpindah kepada makna kiasan, jikalau makna asli tersebut masih
memungkinkan. Dan dalam kasus ini tidak ada sesuatu pun yang menghalangi untuk
memaknai rukyat secara makna asli. Rukyat yang dipahami semua orang adalah
melihat dengan mata, karena itu memang makna aslinya, sedangkan rukyat bil ilmi
adalah rukyat memakai akal bukan memakai mata, dan ini disebut makna majazi
(kiasan) atas rukyat. Oleh sebab itu rukyat harus dipahami bahwa maksudnya
adalah melihat dengan mata, jangan dipahami rukyat bil ilmi. Ini sebagaimana
kata ‘Ain yang makna aslinya adalah mata orang atau mata binatang. Walaupun
‘Ain ini bisa juga berarti mata-mata (spionase) tapi itu adalah makna kiasan.
Jika disebut ‘Ain begitu saja (mutlaq) maka yang akan dipahami adalah makna
aslinya yaitu mata.
Oase : Jadi pendapat yang
mengatakan bahwa rukyat adalah rukyat bil ilmi adalah salah?
DI : Yang berpendapat demikian
dapat dikatakan menyelisihi Syariat. Karena secara syar’i telah jelas, bahwa
yang dimaksud rukyat adalah melihat dengan mata kepala. Ini dengan dalil hadis
yang mengatakan “jika tertutup bagimu (Ghumma alaikum) maka lengkapkanlah
bilangan bulan Syaban menjadi 30 hari”. Tertutup di sini maksudnya adalah jika
penglihatan mata terhalang, baik karena awan, mendung atau memang belum
terlihat, dan ini hanya terjadi jika melakukan rukyat dengan mata kepala,
bukannya dengan hisab. Karena kalau dilakukan dengan hisab maka tidak mungkin
tertutup (Ghumma). Begitu juga hadis-hadis lain yang senada mengisyaratkan
bahwa yang dimaksud rukyat adalah melihat dengan mata kepala bukannya dengan
akal. Jika rukyat dalam hadis tersebut dimaknai dengan rukyat bil Ilmi maka
yang menjadi pedoman adalah hisab karena hisablah yang merupakan rukyat dengan
akal. Jika demikian maka hisab dipakai fil isbat wan Nafyi (hisab dipakai jika
terlihat hilal ataupun tidak). Sedangkan apa yang menjadi kesepakatan Jedah tidaklah
demikian. Muktamar Jedah yang berlangsung pada tahun 90 an yang dihadiri oleh
ulama-ulama terkemuka islam memutuskan bahwa hisab falaki hanya dipakai fi an
Nafyi duna al Isbat (hisab hanya dipakai jika tidak terlihat hilal).
Oase : Bagaimana pendapat Duktur
jika Hisab dipakai fi Halat an Nafyi wa al Isbat (Hisab bisa dipakai secara
umum)?
DI : Ini merupakan pendapat yang
menyelesihi semua ulama fikih, juga menyelisihi hasil keputusan muktamar Jedah
yang notabenenya di hadiri oleh semua ulama yang berkompeten di bidang
tersebut.
Oase : Bagaimana jika dalam suatu
negara terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan hijriyah yang disebabkan
perbedaan metode yang dipakai, sebagaimana yang terjadi di negara kami,
Indonesia.
DI : Bagaimanapun yang dijadikan patokan
adalah keputusan Waliyul Amri (pemerintah) karena dialah yang memiliki otoritas
penuh untuk menyelesaikan setiap pertikaian. Dalam sebuah kaidah fikih
disebutkan bahwa Hukmu al Hakim Yarfa’ al Hilaf (keputusan Hakim / pemerintah
adalah yang bisa menyelesaikan perbedaan). Oleh sebab itu jika pemerintah telah
mengambil keputusan, maka itulah yang harus ditaati.
Oase : Ada fenomena menarik yang
terjadi di Indonesia. Indonesia ada beberapa ormas yang mempunyai metode
tersendiri dalam penentuan bulan Hijriyah, terutama bulan puasa dan hari raya.
Ormas-ormas tersebut memiliki anggota yang sangat loyal. Nah, seringkali
terjadi perbedaan mengenai penentuan tersebut yang disebabkan perbedaan metode
yang dipakai. Bagaimana menurut Duktur mengenai fenomena tersebut?
DI : Memang Negara Kalian Paling
Aneh Sendiri! Yang memberi keputusan harusnya pemerintah.
Oase : Jika pemerintah tidak
begitu kuat di mata masyarakat, dan kebanyakan masyarakat lebih percaya untuk
mengikuti ormasnya?
DI : Hal ini tidak boleh terjadi,
karena akan menyebabkan kekacauan. Akan terjadi perbedaan dalam masyarakat, si
A puasa hari Rabo, si B puasa hari Kamis misalnya, dan seterusnya. Ini akan
menimbulkan keresahan. Setiap teritorial yang memiliki wilayah hukum
tersendiri, yang memiliki waliyul amri (pemerintah) tersendiri haruslah ditaati
oleh setiap masyarakat. Dan pemerintah tersebutlah yang harus menyelesaikan
setiap perbedaan yang ada dalam masyarakatnya. Setiap pemerintah harus bisa
memersatukan rakyatnya, rakyat jangan dibiarkan berbeda karena akan menjurus
kepada pertikaian.
Oase : Bagaimana pandangan Duktur
mengenai banyaknya ormas di Indonesia yang seringkali berbeda satu sama lain.
DI : Ormas-ormas tersebut perlu
pengaturan dan penataan. Tanpa penataan yang baik, hanya akan mengantarkan
kepada pertikaian. Perbedaan-perbedaan antar golongan seringkali berhubungan
dengan kepentingan dan akhirnya terjadilah pertikaian yang tidak diinginkan,
semuanya akhirnya hanya berpedoman atas kepentingannya masing-masing, semuanya
akhirnya tidak memakai akal sehat dalam berpikir sehingga terjadilah kekacauan.
Yang paling baik adalah bersatu, jadilah sebuah kekuatan sosial yang kokoh yang
selalu berpegang teguh kepada ajaran agama.
Oase : Jikalau terjadi perbedaan
antara ormas-ormas tersebut, maka apa yang harus dilakukan?
DI : Jika terjadi perbedaan, maka
pemerintah-lah yang harus memilih dari perbedaan-perbedaan tersebut untuk
dijadikan sebuah keputusan, karena keputusan pemerintah lah yang dapat
menghilangkan perbedaan (hukm al Hakim Yarfa’ al Hilaf). Sebagaimana yang
digariskan dalam ilmu fikih, jikalau pemerintah telah menetapkan sebuah
keputusan, maka itulah yang menjadi patokan, semuanya harus tunduk dan patuh.
Oase : Jadi keputusan pemerintah
bersifat mengikat? Jika ada yang keluar darinya, bagaimana hukumnya?
DI : Jika pemerintah telah
memutuskan sesuatu dan ada yang melanggarnya, maka yang melanggar berdosa.
Oase : Bagaimana hukum para
pengikut ormas?
DI : Jika pendapat ormas berbeda
dengan keputusan pemerintah, maka bagi pengikut ormas harus meninggalkan
pendapat ormasnya dan mengikuti keputusan pemerintah. Jika pengikut tadi
bersikeras untuk mengikuti pendapat ormasnya, maka mereka berdosa. Karena ini
bisa diserupakan dengan para pembuat makar (bughot) yang keluar dari Imam.
Allah telah berfirman: ” Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami
masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali
“. (QS. An Nisa : 115). Maka setiap penduduk suatu negara harus menaati
pemerintahnya.
Oase : Apakah di negara Mesir
sendiri pernah terjadi perbedaan sebagaimana yang terjadi di Indonesia?
DI : Tidak pernah sama sekali.
Semuanya tunduk kepada pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Darul Ifta.
Hampir pernah terjadi perbedaan, salah satu jama’ah islam yang ada di Mesir
mengatakan, kami mengikuti Negara Saudi. Lalu kami katakan kepada mereka, kamu
telah melakukan pelanggaran, karena dalam suatu negara telah memiliki waliyul
amrinya sendiri yang wajib ditaati.
Share
0 comments:
Posting Komentar