Persepsi Kita Tentang Allah
Black Hole |
Tentu saja ini salah kaprah. Sehingga saya perlu mengajaknya diskusi cukup lama untuk menjelaskan berbagai statement al Qur’an yang bisa menjebak persepsi kita dalam memahami-Nya. Masalahnya, memang, Allah memperkenalkan Diri-Nya di dalam Al Qur’an dengan menggunakan bahasa personifikasi manusia.
Ketika Allah mengatakan, Dia Maha Melihat maka otomatis tebersit di benak kita Allah memiliki mata. Ketika Allah mengatakan, Dia Maha Mendengar, otomatis pula kita mempersepsi Allah punya telinga. Demikian pula ketika Allah mengatakan menggulung langit dengan tangan-Nya, berkata-kata, dan bersemayam di atas singgasana, maka kita langsung saja membayangkan Allah punya tangan, mulut, dan sosok yang duduk di atas kursi.
Kenapa bisa demikian? Padahal, kita semua sudah tahu jawabannya, bahwa persepsi kita itu adalah sebuah kekeliruan massal, alias salah kaprah. Karena, kosa kata yang digunakan Allah untuk memperkenalkan Diri-Nya itu adalah kosa kata yang sudah sehari-hari kita gunakan untuk menjelaskan aktifitas manusia. Sehingga memorinya sudah terlanjur berada di dalam otak kita. Bahwa melihat itu ya dengan mata, mendengar itu ya dengan telinga, memegang itu ya dengan tangan, dst.
Maka, untuk mengurangi efek mis-persepsi itu kita lantas mengatakan begini: Dia melihat dengan penglihatan yang bukan seperti penglihatan kita, Dia mendengar dengan pendengaran yang ’bukan’ seperti pendengaran kita, Dia menggunakan tangan yang ’bukan’ seperti tangan kita, Dia duduk di atas kursi yang ’bukan’ seperti kursi kita, dan seterusnya.
Tetapi, tetap saja persepsi di benak kita tidak beranjak jauh dari persepsi semula. Kenapa? Karena kita hanya menambahkan kata ’bukan’ di depan kata ’tangan’. Maka yang yang terbayang ya tetap saja tangan. Atau, kata ’bukan’ di depan kata ’kursi’, ya tetap saja yang terbayang adalah ’kursi’, meskipun dengan ’bentuk’ yang lain... :)
Ya, itulah masalahnya: bahasa personifikasi. Kita telanjur mengenal istilah tersebut untuk menjelaskan sifat-sifat-Nya yang sebenarnya tidak bisa terwadahi oleh istilah apa pun. Dalam bahasa apa pun. Setiap kali kita menggunakan bahasa untuk mendefinisikan sifat-Nya, setiap itu pula kita telah membatasi ’kemutlakan-Nya’. Bagaimana mungkin ’Sesuatu’ yang tidak terbatas, diceritakan dengan istilah atau definisi yang terbatas? Apalagi, makna kata ’definisi’ adalah ’batasan’. Allah adalah Dzat yang tidak bisa didefinisikan..! Karena itu Dia mengatakan diri-Nya sebagai laisa kamitslihi syai-un ~ tidak seperti apa pun yang kita persepsikan,setelah menjelaskan tentang sifat-sifat-Nya.
Kita definisikan sebagai ‘ketiadaan’, salah. Kita definisikan sebagai ‘keberadaan’, juga belum benar. Kita definisikan secara scientific sebagai ‘singularitas’, keliru. Kita definisikan sebagai ‘non singularitas’, ya belum betul. Bahkan kita definisikan sebagai ‘tidak bisa dijelaskan’ pun tidak pas. Karena, sebenarnya Dia bisa dijelaskan, meskipun penjelasan itu belum mewakili ’seluruhnya’. Bahkan, istilah ‘mutlak’ juga belum bisa mewakili-Nya. Karena dia sekaligus ’Tidak Mutlak’. Dia adalah Dzat yang meliputi segala kontradiksi.
Lantas, untuk apa kita menjelaskan eksistensi Allah, kalau seluruh bahasa sudah tidak bisa mewadahi-Nya. Bukankah semua yang kita lakukan adalah sebuah kekeliruan semata, dan hasilnya selalu ’bukan itu’? Kalau kita tidak berusaha menjelaskannya, kita malah semakin keliru. Disebabkan ketidak-mengertian. Adalah lebih baik kita ’mengerti’, daripada tidak mengerti. Meskipun, dalam ’mengerti’ itu ada grade-nya: mulai dari ’tidak mengerti’, ’agak mengerti’, ’semakin mengerti’, dan ’paling mengerti’. Tetapi tidak pernah 'sudah mengerti’.
Lantas, bagaimana cara kita mengenal Allah? Tentu saja, sangat banyak caranya, sebanyak kepala manusia yang ada di muka bumi. Setiap kita pasti memiliki persepsi yang berbeda dengan orang lain. Sebagai misal, meskipun Anda sedang sama-sama membaca tulisan saya ini, saya jamin setiap Anda memiliki persepsi yang berbeda tentangnya. Tidak apa-apa. Sangat manusiawi...
Dalam hal persepsi, yang harus kita lakukan adalah membuka peluang untuk memperoleh persepsi seluas-luasnya. Sehingga tercapai kesimpulan yang semakin utuh alias holistik, dalam sudut pandang selebar-lebarnya. Untuk itu, kita mesti menggali ayat-ayat Qur’an sebanyak-banyaknya, dan di-cross-check dengan data yang sevalid-validnya sebagai bukti ayat-ayat Kauniyah yang dihamparkan-Nya di sekitar kita. Termasuk yang ada pada diri kita sendiri. Bukankah kata Al Qur’an, kita bisa memahami eksistensi Allah dengan cara mengenal alam sekitar dan diri sendiri?
QS. Adz Daariyaat (51):20- 21
"Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (eksistensi Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?"
Maka, jangan hanya mendefinsikan dengan satu-dua kata tentang eksistensi-Nya. Melainkan, ’definisikanlah’ dengan jutaan kata, atau syukur-syukur dengan ungkapan yang tiada berhingga. Karena, kita memang tidak akan pernah bisa mendefinisikan dengan sebenarnya, kecuali hanya mendekati. Yang bisa kita lakukan memang cuma menggeser batas definisi yang kita gunakan agar ’lebih memahami’-Nya.
Ada ribuan ayat yang bercerita tentang Allah di dalam Al Qur’an. Mulai dari yang bersifat definisi sampai perintah untuk melakukan investigasi. Semua itu mesti disusun dalam sebuah ’gambar’ besar tentang-Nya. Meskipun ’gambar’ yang kita peroleh tentang-Nya itu belum benar, tapi lumayanlah untuk modal dasar bagi upaya kita mendekatkan diri kepada-Nya, dari waktu ke waktu sampai ajal menjemput kita. Sampai datangnya hari Akhirat yang berdimensi lebih tinggi, dimana kita akan bisa memahami Allah dengan jauh lebih baik dari pada sekarang. Meskipun, tetap saja kita tidak akan pernah bisa memahami-Nya dalam arti yang sesungguhnya.
Ada beberapa ayat yang seringkali saya gunakan untuk mendasari pemahaman Tauhid, diantaranya adalah berikut ini.
1. Bahwa Allah demikian Besar-nya, sehingga Dzat-Nya meliputi seluruh langit dan Bumi. Jadi segala sesuatu yang berada di dalam alam semesta, dengan sendirinya berada di dalam Diri-Nya. Tetapi tidak sama dengan Diri-Nya. ’Larut’ tetapi tidak ’menjadi’. Karena itu, kemana pun kita menghadap, kita berhadapan dengan Allah.
QS. An Nisaa’ (4): 126
QS. Al Baqarah (2): 115
2. Sebagai Dzat yang Maha Besar, maka Allah meliputi bukan hanya ruang, melainkan juga waktu. Sehingga, ’awal’ dan ’akhir’ berada di dalam Diri-Nya pula. Waktu ke nol dan waktu ’tak berhingga’ semuanya berada di dalam Allah. Selain itu, Allah juga meliputi segala yang zhahir (lahiriah) dan bathin (batiniah). Yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Pendek kata segala yang bersifatkontradiktif: dulu & sekarang, disana & disini, kelihatan & tersembunyi, besar & kecil, bergerak ataupun diam, nol & tak berhingga, dlsb, semuanya berada di dalam-Nya.
QS. Al Hadiid (57): 3
"Dialah Awal dan Akhir, Zhahir dan Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."
Maka bagaimanakah memahami ’Kursi Allah’ yang besarnya meliputi langit dan bumi? Yang meliputi alam semesta. Yang mana black-hole hanya menjadi salah satu anggota saja dari eksistensi alam semesta. Meskipun, di dalam black-hole itu segala hukum alam runtuh dan tak bisa dijelaskan lagi. Tetapi, bukankah di luar black-hole masih terdapat segala ’yang bisa dijelaskan’, sebagai anggota alam semesta? Maka, black hole bukan segala-galanya yang mewakili eksistensi-Nya. Melainkan hanya sebagai bagian dari ’kontradiksi’ yang sedang diliputi oleh Kursi-Nya yang agung.
QS. Al Baqarah (2): 255
"... Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."
Karena itu, Kursi Allah bukan bertempat di dalam alam semesta yang tersusun dari ’ruang-waktu-materi-energi-informasi’. Melainkan meliputinya. Sehingga, tidak ada referensi yang bisa kita gunakan untuk memahami bentuknya. Jangankan Singgasana atau Arsy Allah, isi black-hole saja tidak bisa dijelaskan, karena seluruh hukum alam runtuh di titik singularitas itu. Ibarat angka ’nol’, semua hukum matematika tidak berlaku lagi, ketika kita ’masuk’ ke dalam angka nol. ’Ada’ bilangannya memang, tetapi ’tidak ada’ isinya. Bagaimana mungkin kita bisa ’menghitung’ ketiadaan?
Maka, seluruh hukum sains tidak berlaku di dalam black-hole. Apalagi di dalam ’Arsy Allah yang meliputinya. Apalagi, untuk menjelaskan Dzat Allah...! Tidak ada perangkat yang bisa kita pakai, kecuali sekedar analogi dan perumpamaan belaka. Bahwa Arsy alias Kursi Allah adalah lambang Kekuasaan yang meliputi seluruh realitas alam semesta. Yang ’bisa didefinisikan’ maupun yang ’tidak bisa didefiniskan’...!
QS. Al A’raaf (7): 54
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
0 comments:
Posting Komentar