Sebelum membaca risalah yang panjang dan rumit ini dan pastinya akan membuat yang sedang stress akan semakin steress dan pening kepalanya. Ada baiknya Saudara-saudaraku sekalian mengheningkan hati sejenak dan membuang doktrin-doktrin ta'ashubiyah kemazhaban nya agar dapat membaca risalah ini nantinya dengan kepala dingin dan pikiran yang jernih. Untuk itu marilah kita mengendurkan urat-urat saraf dengan tersenyum sejenak.
Ada sebuah fenomena yang sangat pelik telah mendorong saya untuk menulis sebuah risalah sederhana ini dimana sebagian orang telah menjadikan
tarkun-Nabi (ترك النبي) atau dalam bahasa kita (hal-hal yang ditinggalkan atau tidak dilakukan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam) itu sebagai hujjah (alasan hukum) untuk mengharamkan amal ibadah orang lain.
Pertanyaannya adalah apakah benar jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan atau tidak melakukan suatu perkara, lantas menjadi haram hukumnya bagi kita untuk melakukan suatu perkara itu? Saya harap Saudara-saudaraku sekalian memahami pertanyaan saya ini sebab di siniah inti dari pembahasan kita ini.
Sebelum kita menjawab pertanyaan di atas ada baiknya kita memahami dahulu sebuah pertanyaan yang lebih mendasar lagi, apakah benar jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukan sesuatu, berarti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin memberitahukan kita bahwa sesuatu itu haram?
Jawabannya tentu saja tidak, karena di sana ada sebab-sebab lain mengapa Rasulullah meninggalkan sesuatu yang berarti bukan serta-merta sesuatu yang ditinggalkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam itu haram dilakukan oleh kaum muslimin.
Di antaranya adalah:
1. Terkadang Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu hanya karena adat atau kebiasaan saja, seperti yang pernah terjadi ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat bertamu ke suatu kaum dimana mereka disuguhkan daging
dhob (biawak padang pasir) panggang dan kemudian Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam membentangkan tangannya yang mulia untuk mengambil daging itu, dan serta merta sahabat mengatakan wahai Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah daging
dhob. Langsung Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menarik tangannya kembali dan tidak jadi mencicipi
dhob tersebut. Kemudian para sahabat bertanya, "Apakah ianya haram wahai Rasulullah?"
Kemudian Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Tidak, hanya saja daging
dhob ini tidak ada di tempatku maka aku merasa tidak suka untuk memakannya. Kemudian Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam membiarkan para sahabat untuk melahap daging itu..
Dari riwayat yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim di atas, sangat jelas bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan memakan daging dhob bukan karena ingin memberitahukan bahwa daging dhob itu haram, tetapi karena sebab lain yaitu beliau tidak suka dengan daging dhob.
2. Terkadang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu karena takut sesuatu itu diwajibkan kepada umatnya. Seperti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan sholat tarawih justru ketika para sahabat berkumpul untuk mengikuti tarawehnya dari belakang.
3. Terkadang pula Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu karena tidak terpikir atau terlintas dibenaknya untuk melakukan sesuatu itu. Seperti dulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam khutbah jum'at hanya di atas sebuah tunggul kurma dan tidak pernah terlintas sebelumnya dalam benak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk membuat sebuah mimbar sebagai tempat berdirinya ketika khutbah. Kemudian para sahabat mengusulkan untuk membuat mimbar, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun menyetujuinya sebab memang itu sebuah usulan yang baik dan membuat semua jama'ah dapat mendengar suara Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
4. Terkadang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu karena sesuatu itu bebas boleh dikerjakan dan boleh tidak dikerjakan semisal ibadah-ibadah tathowwu' seperti sedekah, zikir, sholat dhuha, tilawah qur'an dan sebagainya. Ibadah-ibadah ini jika ditinggalkan tidak mengapa dan jika dikerjakan sebanyak-banyaknya maka termasuk sebagaimana yang dikatakan dalam keumuman ayat:
وافعلوا الخير لعلكم تفلحون الحج: 77
"…dan lakukanlah kebajikan agar kamu beruntung." (Al-Hajj:77)
Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukan sholat dhuha setiap hari. bukan berarti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin memberitahukan kepada kita bahwa sholat dhuha tiap hari itu haram. Begitu pula zikir selepas sholat, terkadang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkannya dengan berbagai alasan seperti perang, menunaikan hak kaum muslimin dan sebagainya. Bukan berarti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin memberitahukan kepada kita bahwa melakukan zikir setiap kali selesai sholat adalah haram.
5. Pernah juga Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan sesuatu karena sesuatu itu adalah perkara sensitif yang dikhawatirkan akan menyinggung perasaan kaum Quraisy pada waktu itu sehingga berpengaruh akan menggoyang keimanan mereka yang masih baru. Seperti Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meninggalkan untuk tidak merehab kembali bangunan ka'bah kepada ukuran semula sebagaimana yang pernah dibangun Nabi Ibrahim
Alaihissalam sebab khawatir banyak kaum muslimin Quraisy yang masih baru keislamannya pada waktu itu akan berubah hatinya kembali kepada kekafiran.
6. Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam juga meninggalkan untuk menulis hadits-hadits beliau di masa hidupnya karena takut tercampur dengan ayat-ayat Alquran yang juga sedang disuruh untuk menulisnya di daun-daun, tulang-tulang, batu-batu dan pelepah kurma. Ini bukan berarti menulis hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu haram hukumnya. Dan buktinya sepeninggal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan setelah Alquran dibukukan, kaum muslimin bersepakat untuk menuliskan dan membukukan hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Dari sedikit contoh di atas dapat kita jawab pertanyaan di awal risalah ini bahwa jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam meninggalkan atau tidak melakukan suatu perkara maka tidak menjadi haram hukumnya bagi kita untuk melakukan suatu perkara itu.
Berikut saya sertakan dalil dari Alquran dan sunnah akan pernyataan saya di atas:
1. Biasanya untuk menunjukkan sesuatu itu haram, Alquran dan sunnah menggunakan lafazh-lafazh larangan, tahrim atau ancaman siksa ('iqab), seperti:
ولا تقربوا الزنا الإسراء : 32
"…dan janganlah engkau dekati zina…"(Al-Isra:32)
ولا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل البقرة: 188
"…dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan cara yang batil…"(Al-Baqarah:188)
حرمت عليكم الميتة و لحم الخنزير المائدة : 3
"Diharamkan atasmu bangkai dan daging babi…"(Al-Maidah:3)
قا ل صلى الله عليه و سلم: من غش فليس منا رواه مسلم
Rasulullah Saw bersabda:"Siapa yang berdusta maka bukan daripada golongan kita."
Dari nash-nash di atas, para ulama mengistimbath hukum bahwasanya zina, memakan harta orang lain secara batil, memakan bangkai dan babi serta berbohong adalah haram. Dan tidak pernah di dalam istimbath hukum, para ulama kita menggunakan
tark Nabi (sesuatu yang ditinggalkan atau tidak dikerjakan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam) sebagai hujjah untuk mengharamkan sesuatu.
2. Coba perhatikan ayat dan hadits berikut ini:
وما أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا الحشر:7
"…dan apa-apa yang Rasul datangkan kepadamu maka ambillah dan apa-apa yang Rasul larang maka tinggalkanlah…"(Al-Hasyr:7)
Dari ayat di atas sangat jelas bahwa kita disuruh meninggalkan sesuatu jika dilarang Rasul, bukan ditinggalkan atau tidak dilakukan Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam . Coba perhatikan bunyi ayat di atas: وما نهاكم عنه bukan وما تركه.
Kemudian coba perhatikan hadits berikut ini:
قال قا ل صلى الله عليه و سلم: ما أمرتكم به فأتوا منه ما ستطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه رواه البخاري
Nabi Saw bersabda: "Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah!"
Dari hadits di atas sangat gamblang bahwa bunyi haditsnya:
"وما نهيتكم عنه" dan bukan وما تركته فاجتنبوه
3. Bahwasanya para ulama ushul fiqih mendefinisikan sunnah (السنة) sebagai: perkataan (القول), perbuatan (الفعل) dan persetujuan (التقرير) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan bukan tark-nya (الترك). Jadi siapapun yang melakukan sesuatu dan sesuatu itu tidak pernah dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bisa dikatakan dia telah bertentangan dengan sunnah, sebab tark bukan bagian dari sunnah.
4. Para ulama ushul fiqih telah bersepakat semuanya bahwa landasan hukum (hujjah) untuk menentukan sesuatu itu wajib, sunnah, mubah, haram dan makruh dengan empat landasan hukum yaitu: Alquran, sunnah, ijma' dan qiyas. Dan tidak pernah at-tark dijadikan sebagai landasan hukum (hujjah).
Lalu bagaimana dengan khamar, judi, menyembah berhala?? Bukankah itu semua juga ditinggalkan Rasulullah Saw?? Apakah itu berarti bahwa khamar, judi dan menyembah berhala itu belum tentu haram??
Maka di sini saya menjawab bahwa benda-benda di atas itu pengharamannya sudah pasti namun pengharamannya diambil dari dalil-dalil lain dan bukan dari tarkun Nabi itu semata-mata sebab Tarkun Nabi tidak pernah digunakan oleh para ulama sebagai hujjah untuk menghukumi sesuatu itu haram atau halal sejak zaman zaman Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, sahabat,
tabi'in dan tabi' tabi'in radhiyallahu anhum. Dalil-dalil pengharaman benda-benda itu adalah:
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Dan dalil-dalil lain daripada Alquran dan Hadits yang melarang benda-benda di atas.
Begitulah cara para ulama kita mengetahui hukum dari sesuatu perkara. Dan saya melihat hanya sebagian kecil saja ulama-ulama yang menggunakan
at-tark ini sebagai hujjah. Ulama yang pertama sekali menggunakan at-tark ini sebagai hujjah adalah Imam Ibnu Taimiyah
rahimahullah dan sekarang diikuti manhaj ini oleh para ulama Arab Saudi dan cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh ulama-ulama salaf sebelum beliau (Imam Ibnu Taimiyah). Ini adalah sebuah kekhilafan yang sangat fatal sebab akan menyebabkan banyak sekali perkara-perkara sunnah lagi baik digolongkan kepada bid'ah hanya karena perkara-perkara itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Ini akan menyempitkan ladang amal dan ibadah bagi kaum muslimin, padahal kita semua sudah tahu bahwa ladang amal dan ibadah itu bagi kaum muslimin sangat luas sampai-sampai seluruh perkara yang bernilai manfaat dan diniatkan untuk Allah adalah ibadah dan seluruh hamparan bumi ini di anggap sebagai tempat sujud oleh Islam.
Adapun hadits Rasulullah Saw;
وَ شَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
"Dan seburuk-buruk perkara adalah yang baru dan setiap yang bid'ah adalah sesat" (Riwayat Muslim)
Sama sekali tidak berhubungan dengan pembahasan kita di risalah ini. Sebab hadits tersebut bukan semata-mata mencela hal-hal yang ditinggalkan Nabi Saw (tark Nabi) , akan tetapi mencela perkara-perkara baru yang bertentangan dengan ushul-ushul syar'i yang tidak berhujjah sama sekali seperti adzan ashar sebelum masuk waktu shalat ashar, shalat subuh tiga raka'at, membayar zakat harta hanya 2%, melakukan ibadah haji bukan ke tanah suci mekah, membuat aqidah baru murji'ah, mu'tazilah, jabbariyah dan qadariyah serta membagi tauhid kepada uluhiyah, rububiyah dan asma wa shifat.
Itulah yang dimaksudkan dengan hadits Rasulullah Saw:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa yang melakukan amalan tidak ada atasnya perkara kami maka ia tertolak" (riwayat Muslim)
Coba lihat lafazh yang digunakan pada hadits di atas adalah
أمرنا dan bukan
فعل النبي Mantuq yang tertulis: siapa yang melakukan amalan tidak ada atasnya perkara kami maka ia tertolak dan mafhumnya tentu saja siapa yang melakukan amalan yang ada atasnya perkara kami maka ia diterima.
Mantuqnya tidak tertulis seperti ini: siapa yang melakukan amalan tidak ada atasnya perbuatan Nabi maka ia tertolak hingga mafhumnya siapa yang melakukan amalan yang ada atasnya perbuatan Nabi maka ia diterima.
Tidak demikian bukan???!!
"Amruna" itu lebih umum dan luas daripada
"fi'lun Nabi" sebab
amruna mencakup
amr Allah dan
amr Rasul Saw baik itu diambil dari Alqur'an dan hadits maupun metode istinmbath lainnya yang diambil dari kedua sumber hukum ini seperti
ijma', qiyas, mashalih mursalah, istihsan, saddu adz dzara'i, amal ahlu madinah dan segala
amruna lainnya yang telah disepakati.
Yah…begitulah manusia, terkadang benar dan terkadang salah. Terlebih dalam ijtihad agama, benarnya diberi pahala dua dan salahnya masih diberi pahala satu. Dan sebagaimana kata Imam Malik
radhiyallahu 'anhu: "Setiap kalam itu mungkin ditolak dan mungkin diterima kecuali kalam penghuni kubur ini (mutlak dapat diterima)". Imam Malik sambil mengisyaratkan tangannya kepada maqam Baginda Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Disarikan dari kitab Husnut-Tafahumi wa Ad-Darki Limas'alatit-Tark lil imam Abdillah Shodiq Al-Ghumary.
Al-Faqir ila 'afwi rabbih
Muhammad Haris F. Lubis
Pelajar Universitas Al Azhar Kairo Fakultas Syariah Wal Qanun
Sekarang aktif di Lembaga Kajian Tasawuf Darul Hasani Center Cairo.
Share
5 comments:
Terus terang, kalau saya lebih percaya dengan ucapan Rasul shallahu 'alaihi wa sallam yg mengatakan dalam hadis shahihnya: "Setiap yg baru (dalam agama) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat, dan setiap yang sesat di dalam neraka"
"Barangsiapa yg mengamalkan amal yg tidak ada contohnya dari agama kami, maka amal itu tertolak"
Karenanya yg lebih bijak adalah BERHATI-HATILAH!!!!
Hadits di atas untuk bid'ah yang sayyi'ah adapun bid'ah hasanah maka tidak mengapa
assalamu'alaikum wr wb...
tulisannya mirip dengan yang saya baca kemaren di buku nya DR.Ali Jum'ah...
mabruk...fatahallahu lak
Syaikh Ali Jum'ah khan memang muridnya Syaikh Ghumari Ustadz :D
semua bidah itu sesat, tidak ada pembagian bid'ah, semua sesat. Tapi yg baru itu ada urusan dunia dan urusan ibadah, urusan dunia diperbolehkan selama sesuai ... lho kok ada pembagian urusan dunia - ibadah.. bukannya kullu (semua)?
Posting Komentar