Ketika Semuanya Harus Sama Dengan Baginda Rasulullah SAW

Oleh: Ustadz Al Fadhil Ahmad Yusuf Al-Anshori hafizhahullah

Bagi kaum Salafi & Wahabi, segala urusan di dalam agama hanya ada di antara dua kategori, yaitu:
1.       Yang diperintah atau dicontohkan, yaitu setiap amalan yang jelas ada perintahnya, baik dari Allah Swt. di dalam al-Qur'an maupun dari Rasulullah Saw., atau setiap amalan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau.

2.       Yang dilarang , yaitu setiap amalan yang jelas ada larangannya dari Allah maupun dari Rasulullah Saw.
Dalil yang mereka kemukakan di antaranya adalah:

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." (QS. al-Hasyr: 7)
Sebenarnya, ayat di atas secara keseluruhan sedang berbicara tentang  fai' (harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa pertempuran), sehingga tafsiran asalnya adalah "apa yang diberikan Rasul (dari harta fai') kepadamu maka terimalah dia" (lihat Tafsir Jalalain). Tetapi para mufassir seperti Ibnu Katsir dan al-Qurthubi juga menafsirkan ungkapan "apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia" dengan makna "apa yang diperintahkan Rasul …" berhubung setelahnya ada perintah untuk meninggalkan apa yang dilarang oleh Rasul, di samping itu juga karena adanya riwayat-riwayat hadis yang mendukung makna tersebut.

Yang harus diperhatikan adalah bahwa ayat tersebut bersifat umum, artinya berbicara mengenai perintah dan larangan yang sangat global, sehingga untuk mengetahui apa saja yang diperintah atau yang dilarang secara pasti membutuhkan perincian melalui dalil-dalil lain yang bersifat khusus.
Dalil lain yang mereka ajukan adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah Ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda, "Tinggalkan/biarkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian, sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab pertanyaan dan perselisihan mereka terhadap para Nabi mereka. Maka bila aku melarang kalian dari sesuatu hindarilah, dan bila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka datangilah/laksanakanlah semampu kalian" (HR. Bukhari).   

Dalil hadis ini pun bersifat umum, dan masih memerlukan dalil-dalil lain yang lebih khusus untuk mengetahui perincian apa saja yang dilarang atau yang diperintahkan secara pasti. 

Kaum Salafi & Wahabi seringkali membawa konotasi perintah & larangan pada ayat dan hadis di atas ke dalam konteks perintah mengikuti sunnah & larangan melakukan bid'ah. Pengarahan konteks tersebut sebenarnya tidak tepat dan terkesan dipaksakan, karena selain bahwa pengertian tentang sunnah Rasulullah Saw. yang wajib diikuti masih sangat umum dan butuh perincian dari dalil-dalil lain yang lebih khusus, begitu pula --terutama mengenai larangan— di dalam agama ada hal lain yang juga dilarang selain bid'ah seperti: Berbuat zalim, melakukan maksiat, atau mengkonsumsi makanan & minuman yang diharamkan.

Kategori Ketiga

Di antara dua kategori tersebut (yaitu kategori amalan yang diperintah & kategori yang dilarang), sebenarnya ada satu kategori yang luput dari perhatian kaum Salafi & Wahabi, yaitu "yang tidak diperintah juga tidak dilarang" sebagaimana diisyaratkan di dalam hadis di atas dengan ungkapan "Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian". Imam Ibnu Hajar al-Asqollani menjelaskan di dalam kitab Fathul-Bari, bahwa maksudnya adalah "Biarkan/tinggalkanlah aku (jangan paksa aku untuk menjelaskan –red) selama aku tinggalkan kalian tanpa menyebut perintah melakukan sesuatu atau larangan melakukan sesuatu."

Al-Imam Ibnu Hajar menafsirkan demikian karena Imam Muslim menyebutkan latar belakang hadis tersebut di mana ketika Rasulullah Saw. menyampaikan perintah melaksanakan haji dengan sabdanya, "Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berhaji maka berhajilah", ada seorang yang bertanya, "apakah setiap tahun ya Rasulullah?". Maka Rasulullah Saw. terdiam, sampai orang itu mengulanginya tiga kali. Rasulullah Saw. kemudian bersabda, "Bila aku jawab ' ya' maka jadi wajiblah hal itu, dan sungguh kalian tak akan mampu". Kemudian beliau bersabda ,"Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian".    

Penjelasan tersebut secara nyata mengisyaratkan tentang adanya kategori ketiga, yaitu perkara yang tidak dijelaskan perintahnya juga tidak disebutkan larangannya. Berarti ini wilayah yang tidak boleh ditarik kepada "yang diperintah" atau kepada "yang dilarang" tanpa dalil yang jelas penunjukkannya. Gambarannya, tidak boleh kita mengatakan bahwa suatu perkara itu wajib dikerjakan tanpa dalil yang mewajibkannya, sebagaimana tidak dibenarkan kita mengatakan bahwa suatu perkara itu haram atau dilarang sampai ada dalil yang jelas-jelas mengharamkan atau melarangnya.

Tetapi sayangnya, kategori ini mereka masukkan dengan paksa ke dalam kategori kedua, yaitu "yang dilarang". Menurut kaum Salafi & Wahabi, melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan adalah dilarang karena menyalahi perintah, dengan dalil:
"… maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. " (QS. An-Nuur: 63)

Lagi-lagi mereka lupa, bahwa kalimat "menyalahi" atau menyelisihi perintah Rasul pada ayat di atas itu pun bersifat umum, tidak dirincikan di dalamnya bahwa maksudnya adalah "melakukan apa yang tidak diperintahkan".

Bila melakukan "yang tidak diperintahkan" adalah terlarang semata-mata karena tidak ada perintahnya dari Rasulullah Saw., maka kita –termasuk juga mereka yang berpaham Salafi & Wahabi—sudah melakukan pelanggaran yang sangat banyak dan terancam dengan azab yang pedih seperti disebut ayat tadi, karena telah membangun asrama, yayasan, mencetak mushaf, membuat karpet masjid, menerbitkan buku-buku agama, mendirikan stasiun Radio, dan lain sebagainya yang nota bene tidak pernah diperintahkan secara khusus oleh Rasulullah Saw.   
Kemudian mereka juga berdalil dengan hadis Rasulullah Saw.:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري)
"Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya maka amalan itu tertolak" (HR. Bukhari).
Terjemah hadis ini kami tulis menurut versi pemahaman kaum Salafi & Wahabi, dan pemaknaan seperti itu sungguh keliru. Mengapa? Karena kami tidak mendapati seorang pun ulama hadis yang memaknai "laysa 'alaihi amrunaa" dengan arti "yang tidak ada perintah kami atasnya". Kata "amr" memiliki banyak arti, dan ia diambil dari kata "amara - ya'muru" yang berarti "memerintahkan". Tetapi bila ia mendapat iringan atau imbuhan berupa huruf "'alaa" (atas), maka artinya adalah "menguasai". Jadi, bila kalimat "amara 'alaa" berarti "menguasai", maka kalimat "amarnaa 'alaihi" berarti "kami menguasainya", maka kalimat "amrunaa 'alaihi" atau "'alaihi amrunaa" amat janggal bila diartikan "perintah kami atasnya". Karena untuk arti "perintah", kata "amara" lebih tepat diiringi huruf  "bi" (dengan), seperti firman Allah ta'ala: "Innallaaha ya'muru bil-'adli" (sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil).

Untuk sekedar diketahui, amalan yang mereka anggap tertolak dan terlarang karena tidak ada perintahnya atau menyalahi perintah Rasulullah Saw. adalah segala hal berbau agama yang mereka vonis sebagai bid'ah, seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., acara tahlilan, bersalaman setelah shalat berjama'ah, do'a berjama'ah, zikir berjama'ah, membaca al-Qur'an di pekuburan, dan lain sebagainya. Padahal, untuk amalan-amalan tersebut, meski tidak didapati perintah langsungnya, namun juga tidak didapati larangannya atau ketertolakannya.

Kata amr pada  "amrunaa" di dalam hadis tersebut menurut para ulama maksudnya adalah "urusan (agama) kami". Jadi terjemah hadis itu bunyinya adalah sebagai berikut, "Barangsiapa yang melakukan amalan yang bukan atasnya urusan agama kami (tidak sesuai dengan ajaran agama kami), maka amalan itu tertolak". Seandainya pun kata "amrunaa" diartikan sebagai "perintah kami" dengan susunan kalimat seperti yang kami kemukakan tadi, maka pengertiannya juga sama, yaitu "amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami", bukan " yang tidak ada perintah kami atasnya ". Makna ini tergambar di dalam hadis lain yang berbunyi:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
"Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak" (HR. Muslim)
"Tidak sesuai perintah" mengandung pengertian adanya perintah, hanya saja pelaksanaannya tidak seperti yang diperintahkan, contohnya melakukan shalat tanpa wudhu dalam keadaan tidak ada uzur padahal shalat itu harus dengan wudhu sebagaimana diperintahkan. Ketidaksesuaian pelaksanaan suatu amal dengan perintah yang diberikan sebagaimana yang dimaksud hadis itu pun tidak dapat dipastikan sedikit-banyaknya, entah dari segi prinsipnya saja maupun dari segi bentuk atau formatnya secara keseluruhan.  Sedangkan "tidak tidak ada perintah kami atasnya " mengandung pengertian tidak ada perintah sama sekali, dan pemahaman seperti inilah yang membuat mereka berpandangan bahwa "melakukan apa yang tidak diperintahkan agama adalah sia-sia dan tidak mendapat pahala". Yang seharusnya mereka teliti lagi, benarkah amalan-amalan yang mereka tuduh bid'ah itu tidak pernah diperintahkan, baik secara implisit atau eksplisit?

Terlepas dari itu semua, lagi-lagi lafaz hadis tersebut mengenai "amalan yang tidak sesuai dengan ajaran agama kami" juga bersifat umum, tidak menjelaskan rinciannya secara pasti. Maka tidak sah mengarahkannya kepada amalan-amalan tertentu seperti Maulid, ziarah, atau tahlilan, tanpa dalil yang menyebutkannya secara khusus. 

Kita tidak mungkin mengingkari adanya kategori ketiga (yaitu kategori perkara "yang tidak diperintah tapi juga tidak dilarang) , sedangkan isyarat hadis Rasulullah Saw. "Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian" sangat jelas menunjukkannya. Bahkan yang seperti itu disebut sebagai "rahmat" dari Allah sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا (حديث حسن رواه الدارقطني وغيره)
"Sesungguhnya Allah ta'ala telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kalian lalaikan, dan Ia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan kalian lampaui, dan Ia telah mengharamkan beberapa hal maka jangan kalian langgar, dan Ia telah mendiamkan beberapa hal (tanpa ketentuan hukum –red) sebagai rahmat bagi kalian  bukan karena lupa maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya" (Hadis hasan diriwayatkan oleh ad-Daaruquthni dan yang lainnya).    
Hadis ini disebutkan oleh an-Nawawi di dalam kitab al-Arba'in an-Nawawiyyah pada urutan hadis yang ke-30. Ungkapan "Ia telah mendiamkan beberapa hal" tentunya sangat berhubungan dengan kalimat-kalimat sebelumnya tentang "mewajibkan", "menetapkan batasan", dan "mengharamkan". Maksudnya, saat Rasulullah Saw. menyebutkan di akhir kalimatnya bahwa Allah ta'ala ”mendiamkan beberapa hal" maka itu artinya "Allah tidak memasukkan beberapa hal tersebut entah ke dalam kelompok  yang Ia wajibkan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia berikan batasan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia haramkan". Paling tidak, itu artinya Allah tidak mengharamkannya atau melarangnya, lebih jelasnya lagi, tidak menentukan hukumnya.

Bagaimana mungkin kaum Salafi & Wahabi dapat menyatakan bahwa melakukan perkara yang tidak ada perintahnya adalah tertolak dan dilarang, sedangkan Allah Swt. melalui lisan Rasulullah Saw. malah menyebutnya sebagai "rahmat" ??!        

Imam Nawawi menjelaskan, bahwa larangan pada ungkapan "maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya" adalah larangan yang khusus pada masa Rasulullah Saw di saat ajaran Islam masih dalam proses pensyari'atan, karena dikhawatirkan akan mempersulit diri dalam mengamalkan agama, seperti kisah Bani Israil yang disuruh menyembelih seekor sapi betina. Ketika Rasulullah Saw. sudah wafat, dan seluruh ajaran Islam sudah beliau sampaikan semuanya sehingga tidak akan ada tambahan lagi, maka larangan itu pun tidak berlaku lagi. Artinya, mengkaji apakah suatu perkara yang tidak ditetapkan hukumnya oleh Allah & Rasul-Nya (terutama perkara yang tidak pernah ada di masa hidup beliau seiring perubahan zaman) adalah merupakan suatu kebutuhan bahkan keharusan, mengingat tidak seluruh perkara baru itu bisa dibilang "rahmat" sebagaimana tidak pula seluruhnya itu bisa dibilang sebaliknya. Sehingga dengan begitu dapatlah diketahui hukum "boleh" atau "tidak"nya suatu perkara berdasarkan prinsip-prinsip dasar agama yang sudah disampaikan oleh Rasulullah Saw. tersebut.

Di sinilah peranan ulama dibutuhkan, dan telah nyata bahwa mereka benar-benar mengabdikan diri dengan ikhlas demi kemaslahatan umat Islam sepanjang hidup mereka. Merekalah para pewaris Rasulullah Saw., yang dengan kesungguhan dan dedikasi yang tinggi alhamdulillah mereka telah berhasil meletakkan rumusan dasar dan metodologi yang dapat dipergunakan oleh umat Islam sepanjang zaman untuk dapat membedakan dengan jelas, mana perkara baru (entah yang berbau agama atau tidak) yang dibolehkan dan mana perkara baru yang dilarang. Dan hasilnya, apa yang aslinya "rahmat" akan tetap dianggap "rahmat" sampai kapanpun, bagaimanapun macam dan bentuknya. Dari sini pulalah terlihat jelas perbedaan antara "perkara baru di dalam ajaran agama" dan "perkara baru yang berbau agama". 


Ketika kaum Salafi & Wahabi tidak dapat memahami kondisi ini, maka akibatnya adalah mereka menganggap sama "perkara baru di dalam ajaran agama" dengan "perkara baru yang berbau agama", dan untuk keseluruhannya mereka menyatakan bid'ah sesat dan terlarang. Itulah mengapa mereka tidak dapat melihat "rahmat" yang ada pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. ketika umat yang awam berkumpul bersama para ulama dan shalihin di suatu tempat untuk mengingat Allah Swt., mengenang dan memuliakan Rasulullah Saw., bersholawat kepada beliau, serta memupuk kecintaan kepada beliau, sebagaimana "rahmat" yang ada pada saat berkumpulnya para Shahabat bersama Rasulullah Saw. dengan penuh cinta dan pemuliaan terhadap beliau.

Kaum Salafi & Wahabi seperti buta terhadap "rahmat" yang Allah berikan kepada umat Islam pada perkara-perkara yang tidak Ia sebutkan hukumnya. Dan yang lebih parah, mereka juga seperti buta terhadap begitu banyak dalil dan isyarat-isyaratnya yang menyebut tentang adanya perkara tawassul kepada orang shaleh baik hidup maupun sudah meninggal, tentang ziarah kubur, tentang membacakan al-Qur'an kepada orang yang meninggal dunia, tentang tabarruk, tentang berzikir atau berdo'a berjama'ah, tentang do'a qunut pada shalat shubuh, dan lain sebagainya, sehingga mereka berani berkata "tidak ada dalilnya" atau "tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw. atau para shahabatnya".  
Kaum Salafi & Wahabi, mengenai amalan yang tidak diperintahkan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau, juga berdalil dengan perkataan shahabat Hudzaifah ibnul-Yaman Ra. sebagai berikut:
كُلُّ عِبَادَةٍ لمَ ْيَفْعَلُوْهَا أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ فَلاَ تَفْعَلُوْهَا
"Setiap ibadah yang tidak dilakukan para Shahabat Rasulullah Saw. maka janganlah kalian lakukan" (Prof. TM Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan riwayat ini di dalam karyanya "Kriteria Antara Sunnah dan Bid'ah", dan ia menyebutkannya sebagai riwayat Abu Dawud. Tetapi kami belum mendapatinya di dalam riwayat Abu Dawud atau yang lainnya. Riwayat ini juga disebut di dalam buku Ensiklopedia Bid'ah  karya Hammud bin Abdullah al-Mathar).
Meskipun seandainya riwayat itu benar adanya, maka yang harus diperhatikan adalah bahwa pernyataan itupun bersifat umum, yaitu menyangkut urusan ibadah yang tidak bisa dipahami secara rinci kecuali setelah kita memahami pengertian "ibadah" tersebut melalui penjelasan yang tersurat atau tersirat dalam riwayat-riwayat yang lain. Mereka juga berdalih dengan suatu qaidah ushul yang mengatakan:
اْلأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّوْقِيْفُ
"Asalnya ibadah adalah ketetapan (dari Rasulullah Saw.)"
atau dalam kaidah lain, "Asal hukum ibadah adalah haram, kecuali bila ada
dalil yang menyuruhnya."
Kaidah itu pun bersifat umum, dan harus dijelaskan pengertian dan macam ibadah yang yang dimaksud (meskipun sebenarnya para ulama yang membuat kaidah tersebut sudah membahasnya dengan gamblang, namun bagi kaum Salafi & Wahabi, kaidah itu dipahami berbeda). Bagaimana mungkin kita samakan ibadah yang punya ketentuan dalam hal Cara, jumlah, waktu, atau tempat seperti: Sholat, puasa, zakat, dan haji (yang dikategorikan sebagai ibadah mahdhoh/murni), dengan ibadah yang tidak terikat oleh hal-hal tersebut seperti: Do'a, zikir, shalawat, sedekah, husnuzh-zhann (sangka baik) kepada Allah, atau istighfar (yang dikategorikan sebagai ibadah ghairu mahdhoh) yang boleh dilakukan kapan saja, di mana saja dan berapa saja, bahkan dalam keadaan junub sekalipun. Jangankan itu, menyamakan ibadah yang hukumnya wajib dengan ibadah yang hukumnya sunnah.saja tidak mungkin.

Bila semuanya dianggap sama, yaitu harus seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat sebagaimana disebutkan di dalam riwayat hadis tanpa membedakan hukum wajib dan sunnah, mahdhoh dan ghairu mahdhoh, maka yang terjadi adalah: Berzikir harus dalam keadaan tertentu dan dengan zikir tertentu yang disebutkan hadis saja; berdo'a harus dengan kalimat yang ada di dalam hadis dan tidak boleh menambah permintaan yang lain; dan khutbah jum'at harus dengan bahasa Arab dengan isi khutbah seperti yang ada di dalam hadis; dan shalat harus sama dengan yang disebutkan di dalam hadis dalam hal panjang bacaannya, lama pelaksanaannya, dan banyak rakaatnya. Sungguh, dengan begitu agama ini akan menjadi sangat berat dan susah bagi umat Islam yang belakangan seperti kita. Bahkan kita perlu bertanya, apakah mungkin Islam dengan pemahaman kaku seperti itu bisa diterima manusia sementara keadaan zaman makin ke belakang makin buruk, apalagi keadaan manusianya?
Adalah sangat mungkin, seandainya Wali Songo dan para pembawa Islam di Indonesia pada masa dahulu berdakwah dengan pemahaman Islam seperti kaum Salafi & Wahabi, maka dakwah mereka pasti akan ditolak dan sulit berkembang, sebab segala sarana yang mereka gunakan untuk berdakwah saat itu seperti: Gending, gamelan, tembang, wayang, dan syair-syair jawa, bagi Kaum Salafi & Wahabi adalah bid'ah. Bukan tidak mungkin bila seluruh ulama menganut paham Salafi & Wahabi, maka Islam akan ditinggalkan orang bahkan ditinggalkan oleh umat Islam sendiri (dalam arti tidak ditaati ajarannya) alias tidak laku! Bagaimana tidak, saat dunia dan perhiasannya sudah dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi semakin menarik, maka dakwah yang tidak kreatif akibat terbatasi oleh larangan bid'ah yang tidak jelas akan menjadi sangat membosankan.

Itulah mengapa para ulama yang kreatif mencoba mengemasnya dalam bentuk acara-acara adat yang disesuaikan dengan Islam, seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. dan Isra' & Mi'raj, tahlilan, zikir berjama'ah, rombongan ziarah, haul, pembacaan qashidah atau sya'ir Islami, dan lain sebagainya. Itu semua mereka lakukan karena mereka memahami betul keadaan umat manusia di masa belakangan yang kualitas keimanan dan ketaatannya tidak mungkin bisa disamakan dengan para Shahabat Rasulullah Saw. atau para tabi'in.

Dinukil dari catatan Ustadz Al Fadhil Ahmad Yusuf Al-Anshori hafizhahullah


Share

posted under , |

3 comments:

Ahmad Dika mengatakan...

Boleh saya copas??

Sufi Medan mengatakan...

marhaban, silahkan Mas :)

Anonim mengatakan...

ana numpang copas juga sob..

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Powered by. Ryosatura. Diberdayakan oleh Blogger.

Cari Topic

Jika kamu ingin tahu kedudukanmu di sisi Allah maka lihatlah kedudukan Allah di hatimu!

Tasawuf itu ihsan

Saudara-saudaraku yang budiman, jangan tertipu oleh dakwaan sebahagian orang bahwa tasawuf tidak ada di dalam alquran. Tasawuf itu ada di dalam alquran, hanya saja ia tersirat. Sebagaimana tersiratnya dilalah-dilalah hukum di balik nash-nash alquran begitu pula isyarat-isyarat tasawuf banyak tersembunyi di sebalik lafazh-lafazh alquran. Bukan ianya hendak disembunyikan Allah dari semua orang, tetapi agar ada usaha dan upaya untuk melakukan penggalian terhadap sumber-sumber ilahiyah yang dilakukan oleh jiwa-jiwa yang intibah. Di situlah akan muncul ijtihad dan mujahadah yang mengandung nilai-nilai ibadah (wa ma kholaqtul jinna wal insa illa liya'buduni).

Tasawuf itu akhlaq (innama bu'itstu li utammima makarimal akhlaq); berusaha mengganti sifat-sifat madzmumah (takhalli) dengan sifat-sifat mahmudah (tahalli). Kedua proses ini sering disebut dengan mujahadah. Para Rasul, Nabi, dan orang-orang arif sholihin semuanya melalui proses mujahadah. Mujahadah itu terformat secara teori di dalam rukun iman dan terformat secara praktek di dalam rukun Islam. Pengamalan Iman dan Islam secara benar akan menatijahkan Ihsan. Ihsan itu adalah an ta'budallaha ka annaka tarah (musyahadah), fa in lam takun tarah fa innahu yarok (mur'aqobah). Ihsan inilah yang diistilahkan dengan ma'rifat. Ma'rifat itu melihat Allah bukan dengan mata kepala (bashor) tetapi dengan mata hati (bashiroh). Sebagaimana kenikmatan ukhrowi yang terbesar itu adalah melihat Allah, begitu pula kenikmatan duniawi yang terbesar adalah melihat Allah.

Dengan pemahaman tasawuf yang seperti ini, insya Allah kita tidak akan tersalah dalam memberikan penilaian yang objektif terhadap tasawuf. Itulah yang dimaksud oleh perkataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah; "Dan kami tidak mengingkari tarekat sufiyah serta pensucian batin daripada kotoran-kotoran maksiat yang bergelantungan di dalam qolbu dan jawarih selama istiqomah di atas qonun syariat dan manhaj yang lurus lagi murni." (Al Hadiah As-Saniyah Risalah Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Abd. Wahhab hal.50 dalam kitab Mauqif A'immah Harakah Salafiyah Cet. Dar Salam Kairo hal. 20).

Adapun praktek-praktek yang menyimpang dari syariat seperti perdukunan, zindiq, pluralisme, ittihad dan hulul yang dituduhkan sebahagian orang; itu adalah natijah daripada tasawuf, maka itu tidak benar, sangat jauh dari apa yang diajarkan oleh tokoh-tokoh sufi; Imam Junaid Al-Baghdadi, Imam Ghazali, Imam Ibnu Arabi, Imam Abd. Qadir Al-Jailani, Imam Abu Hasan Asy-Syadzili, Imam Ibnu Atho'illah As Sakandari, Imam Sya'roni, Imam Suyuthi, Syaikh Abdul Qadir Isa dan imam-imam tasawuf lainnya qaddasallahu sirrahum.

Tasawuf juga adalah suatu ilmu yang membahas jasmani syariat dari sisi lain. Sisi lain yang dimaksud adalah sisi ruhani. Kalau fiqih membahas syariat dari sisi zhohir, maka tasawuf dari sisi batin. Sholat misalkan, ilmu tentang rukun, syarat dan hal-hal yang membatalkan sholat itu dibahas dalam ilmu fiqih. Adapun ilmu tentang khusyu' hanya dibahas dalam ilmu tasawuf. Wallahu a'lam.

free counters
bloggersumut.net
Blog ini ada di Komunitas Blogger Indonesia -AntarBlog-

Mengenai Saya

Foto saya
Al-faqir dilahirkan di sebuah kota kecil Pangkalan Berandan Kab. Langkat Sumatera Utara. Di kota kecil ini minyak bumi pertama sekali ditemukan di Indonesia (tepatnya di desa Telaga Said). Saat ini al-faqir sedang menempuh pendidikan di Universitas Al Azhar Kairo Fakultas Syariah wal Qanun. Blog ini merupakan sebagai sarana saja bagi saya untuk sharing bersama teman-teman, silaturahmi dan menambah wawasan. Hehe jangan tertipu dengan nama blog "Sufi Medan" karena ini hanya nama blog saja, adapun si empunya sendiri bukanlah seorang sufi, hanyasaja mencintai orang2 sufi. Sufi adalah gelar yang hanya diberikan untuk orang-orang yang mengamalkan ajaran-ajaran Tasawuf dengan benar. Tentunya di sana sini masih banyak kekurangan, al-faqir sangat mengharapkan perbaikan dari Teman-teman semuanya. Saran dan masukan sangat saya nantikan. Dan bagi siapapun yang ingin menyebarkan artikel2 dalam blog ini saya izinkan dan saya sangat berterima kasih sudah turut andil dalam mengajak saudara-saudara kita kepada kebaikan dan yang ma'ruf. Terima kasih sudah berkunjung di blog orang miskin. Moga Allah senantiasa memberkahi dan melindungi Teman-teman semuanya. Billahi taufiq, wassalamu'alaikum.

Followers


Recent Comments